Kemenangan adalah Orang - orang yang telah mencoba terus mencoba dalam menghadapi rintangan halangan yang membuat hatinya bersabar berdoa serta lapang dada dan selalu yakin kepada Allah SWT

Kembang Api


Jumat, 04 Maret 2016

ANALISIS TENTANG HUBUNGAN ANTARA 2 BUDAYA YANG BERBEDA ANTARA KEBUDAYAAN JAWA DAN KEBUDAYAAN BATAK


 
      I.          PENDAHULUAN
Salah satu fungsi utama komunikasi adalah untuk menjaga keberlangsungan hubungan antara komunikannya. Oleh karena itu, bahasa yang merupakan alat komunikasinya berisi kaidah-kaidah yang mengatur bagaimana cara seseorang bertutur agar hubungan interpersonal para pemakai bahasa tersebut dapat terpelihara dengan baik.Dalam kaitan ini, masyarakat pengguna bahasa, dalam situasi tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu, situasi pertuturan agar peserta tutur dapat saling berinteraksi, dan bentuk tuturnya menjadi saling terpahami. Pemahaman terhadap tutur tersebut, menurut teori etnometodologi (Richards dkk. 1985: 97) dimungkinkan karena adanya pengetahuan bersama (shared knowledge) diantara penutur dan petutur.    
 Kaidah-kaidah dalam tata cara berkomunikasi, berbeda antara suatu  masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dalam studi sosio-pragmatik, dapat dilihat bahwa strategi bertutur yang disebut dengan retorika dalam prinsip sopan santun, pada kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat bahasa yang berbeda misalnya, akan beroperasi secara berbeda (Leech, 1993: 15 ). Sebagai contoh, dalam masyarakat Jawa yang memiliki tingkat tutur ‘unggah-ungguh’ (ngoko, madya atau krama inggil), penggunaannya dipilih penutur ketika berbicara dengan petutur sesuai dengan     situasi interaksi tertentu (Adisumarto, 1991 : 26). Demikian pula pada masyarakat Batak, pemilihan tingkat tutur yang terjadi pada masyarakat Batak Toba ini juga disesuaikan dengan situasi interkasi tertentu, namun situasi interkasi dalam masyarakat budaya Jawa berbeda dengan masysrakat budaya Batak. Perbedaan ini dipengaruhi oleh latar sosial budaya kedua masyarakat tersebut.

   II.            TEORI
Pengertian Budaya menurut Farr dan Ball (1999: 206) adalah pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat, yang berkaitan dengan perilaku mereka. Selanjutnya menurut kamus besar bahasa Indonesia, budaya adalah hasil kegiatan dan penciptaan akal budi manusia, misalnya kesenian, kepercayaan dan adat istiadat. Dari pemaparan tersebut, dapat dikatakan bahwa budaya akan selalu berkaitan dengan cara hidup sekelompok masyarakat, termasuk cara anggota masyarakat budaya itu berkomunikasi atau bertutur. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Goodenough (dalam Geertz, 1973: 11) bahwa budaya adalah hal-hal yang perlu diketahui dan dipercayai oleh seseorang agar ia dapat bertingkah laku dengan cara yang berterima dalam kelompok masyarakatnya.


III.            ANALISIS
Penggunaan Bahasa (tindak tutur) pada kalangan suku Jawa berbeda dengan tindak tutur pada kalangan suku Batak. Pandangan Hidup yang merupakan bagian dari kebudayaan kedua suku tersebut berbeda. Suku Batak lebih sering menggunakan strategi bertutur dengan cara terus terang, sedangkan suku jawa lebih sering menggunakan strategi bertutur dalam hati. Menurut hasil penelitian Gunarwan (Gunarwan, 2004: 13),   strategi pengungkapan tindak tutur melarang yang paling sering digunakan oleh suku Batak adalah bentuk ‘terus terang tanpa basa-basi’, dan tindak tutur melarang yang paling sering digunakan suku Jawa adalah ‘di dalam hati’. Temuan ini menunjukkan bahwa budaya Batak ‘menggalakkan’ suku batak untuk lebih berani melarang dengan  secara terus terang. Sebaliknya budaya Jawa ‘menggalakkan’ suku Jawa lebih memilih diam. 
BUDAYA BATAK
Bagi masyarakat Batak, menurut Sihombing (1986: 71-72), keseimbangan untuk kelangsungan hidup berasal dari falsafah-falsafah Batak berikut ini.
  1. Banua na tolu ( tiga bagian dunia)
Menurut falsafah masyarakat Batak, alam semesta ini terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) banua ginjang ( dunia bagian atas), (2) banua tonga (dunia bagian tangah), dan (3) banua toru (dunia bagian bawah). Walaupun demikian, ketiga bagian dunia tersebut tidak menunjukkan perbedaan derajat, yang berbeda adalah jenis penghuninya.
  1. Bonang na tolu ( benang yang terdiri atas tiga jenis pilinan)
Dalam masyarakat Batak kesatuan sosial dilambangkan dengan tiga pilin benang yang masing-masing warnanya adalah putih, merah dan hitam. Warna-warna yang terdapat pada bonang na tolu ini melambangkan tiga unsur utama di dalam masyarakat Batak.
  1. Dalihan na tolu ( tungku yang memiliki penyanggah tiga buah)
Dalihan na tolu ini merupakan falsafah yang paling penting bagi masyarakat Batak. Falsafah ini sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Penerapan mekanisme ‘dalihan na tolu’ ‘Tiga’ yang dimaksud disini adalah tiga buah batu yang digunakan sebagai tungku untuk menyanggah belanga penanak nasi. Belanga tempat menanak nasi ini harus selalu dalam keadaan seimbang, dan untuk itu batu penyangganya harus tiga (batu). Letak ketiga penyangga tersebut harus disusun dengan baik, dengan jarak yang sama antara penyangga yang satu dengan penyangga lainnya agar kekuatan untuk menahan berat belanga dapat terjaga dengan baik. Disamping itu, ketiga penyangga juga harus berukuran sama, untuk menjaga keseimbangan letak belanga. Hal inilah yang menunjukkan asal mula persamaan derajat yang dianut oleh masyarakat Batak. Bagi masyarakat Batak derajat semua warga adalah sama, yang berbeda adalah tugas dan fungsi masing-masing warga dalam suatu keperluan. Seperti yang dikatakan oleh Simatupang (1989: 5-6) bahwa falsafah dalihan na tolu has lent the Batak society a flavor of democracy. It is an egalitarian society which has never produced a highly hierarchically organized from government…… (it) counteracts any attempt or tendency to accumulate power in the hands of only certain groups of Batak society. masyarakat Batak hanya memiliki satu bahasa, tingkat tutur masyarakat Batak tidak hierarkis dan masyarakat Batak adalah masyarakar yang egaliter.
BUDAYA JAWA
masyarakat Jawa hal yang perlu dipertimbangkan oleh peserta petuturan bila hendak berbicara sopan dengan orang lain, untuk memelihara kerukunan sosial,   dijabarkan dalam maksim-maksim sebagai berikut (Gunarwan, 2004: 7).
a.Kurmat (menghormati orang lain)
                Masyarakat Jawa, dalam kehidupan sosialnya, menggunakan maksim kurmat
(menghormati orang lain). Maksim ini menggambarkan bahwa untuk menjaga kerukunan dalam bermasyarakat, seseorang diharapkan dapat menghormati dan tidak memandang rendah orang lain. Berikut contoh-contoh dari tuturan yang diujarkan oleh seorang direktur kepada karyawannya, yang menggunakan maksim kurmat. 
b.Andhap asor ( rendah hati)
                Maksim andhap asor (rendah hati) ini menggambarkan bahwa masyarakat jawa akan selalu menghindari untuk memuji diri sendiri, (bandingkan dengan teori maksim kerendahan hati oleh Leech). Tuturan-tuturan berikut adalah contoh prinsip sopan santun dari maksim ini.
  1. Tiang menika sae sanget, kersa ambiantu dateng kula.
(Orang itu baik sekali, mau membantu saya)
  1. Mugi panjenengan kersa nampi cecaosan dalem egkang boten sepinten punika.
( Terimalah pemberian saya yang tidak berharga ini)
  1. Kula rumaos cubluk, kirang pangertosan
(Saya merasa bodoh, kurang mengerti)
                Tuturan (15) di atas termasuk dalam ragam formal yang menunjukkan sopan santun, karena tuturan tersebut bertujuan untuk memuji orang lain. Demikian pula tuturan (16) dan (17) sopan karena menunjukkan kerendahan hati.
c.Empan papan (bisa menempatkan diri)
                Maksim ini tampak pada salah satu tindak tutur yang  dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang berusia lebih tua darinya, seperti pada contoh- contoh berikut ini.
  1. Nyuwunsewu, bapak dipunaturi lenggah wonten lajengan 
(Maaf, bapak dimohon untuk duduk di depan)
  1. Kula lenggah wonten wingkingipun bapak mawon
(Saya duduk di (kursi) belakang bapak saja)
Selain contoh tuturan (18) dan (19) di atas, maksim ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Jawa dapat menempatkan dirinya sesuai dengan stratanya, seperti yang telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.
d.Tepa selira (tenggang rasa)
                Keempat maksim ini (kurmat, andhap asor, empan papan dan tepa selira) saling berkaitan satu sama lainnya. Ketika seseorang menggunakan maksim kurmat, maka orang itu juga telah menggunakan empan papan, seperti yang terdapat pada tuturan (18) : ‘Kula lenggah wonten wingkingipun bapak mawon’. Maksim kurmat pada tuturan ini tampak pada bentuk sapaan ‘bapak’ dan maksim empan papan tampak pada ‘lenggah wonten wingkingipun‘. Demikian pula ketika seseorang menggunakan maksim empan papan, ia juga menggunakan maksim tepa selira. Hal tersebut dapat dilihat pada tuturan (21): ‘Mangga embah, lenggahipun’.  Maksim empan papan dan maksim tepa selira tampak pada tuturan tersebut secara keseluruhan.
Dari uraian dan contoh-contoh tuturan di atas, dapat dikatakan bahwa perbedaan struktur sosial tercermin pada kedua budaya tersebut (budaya Batak dan budaya Jawa). Berbagai bentuk tuturan, yang merupakan strategi bertutur yang digunakan oleh penutur pada saat berinteraksi dengan lawan tuturnya, akan mencerminkan bentuk hubungan sosial dan budaya antara penutur dan lawan tuturnya. Dengan kata lain, budaya akan mempengaruhi penggunaan bahasa oleh sekelompok masyarakat, seperti yang diuraikan di atas, yaitu contoh-contoh tuturan oleh masyarakat Jawa, didasarkan pada tiga parameter pragmatik, yaitu jauh dekatnya hubungan penutur dan lawan tutur, status sosial penutur dan tingkat tindak tutur yang dipilih, dan penggunaan tingkat tindak tutur masyarakat Batak tidak membedakan derajat antara warga masyarakatnya.
 Perbedaan tindak tutur antara masyarakat Jawa dan masayarakat Batak tersebut akan berpengaruh terhadap kedua masayarakat pengguna bahasa, jika mereka saling berhubungan baik dalam berkomunikasi maupun dalam pergaulan sehari-hari, dan hal ini akan sangat terasa bagi masayarakat Jawa yang priyayi, karena masayarakat priyayi terbiasa dengan tuturan-tuturan kromo alus, jika bersentuhan dengan masyarakat Batak yang tidak memiliki tindak tutur yang hierarkis, dapat menimbulkan rasa tidak nyaman
SISTEM KEKERABATAN BATAK
a.  Sistem  Harajoan
 Harajoan dapat didefiniskan pola kepemimpinan dan sistem kemasyarakatan dalam kebudayaan masyarakat  Batak Toba. Sistem Harajoan berlaku pada dua level organisasi sosial masyarakat Batak Toba, yaitu suku dan kampung atau Huta. Harajoan tidak hanya berkaitan dengan pengorganisiran para anggota suku maupun huta, tetapi juga mengatur  mengenai luas teritori dan pola serta otorisasi  kepemimpinan dalam suatu suku dan huta.
Dalam sistem Harajoan, kepemimpinan dalam satu suku dinamakan Raja Maropat. Posisi Raja Maropat ini erat kaitannya dengan kelompok kekerabatan yang disebut marga. Hal ini terkait juga dengan mitologi suku Batak yang meyakini bahwa seluruh orang Batak dari berbagai sub suku adalah keturunan Si Raja Batak yang kemudian melahirkan banyak keturunan. Keturunan Si Raja Batak inilah yang mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok tertentu guna memperjelas identitas genealogis mereka. Kelompok-kelompok itulah yang disebut marga. Penentuan pemimpin dalam kelompok suku itu berdasarkan pada silsilah marga atau tarombo dari masing-masing anggota suku. Bila berdasarkan tarombo tersebut ada seseorang yang silsilahnya mendekati garis keturunan terdekat dari Si Raja Batak, maka orang itu dapat diangkat sebagai pemimpin.
Ketika beberapa suku telah sepakat untuk tinggal bersama dalam suatu daerah, maka di daerah tersebut akan didirikan suatu kampung atau huta. Huta dapat didefinisikan sebagai persekutuan terkecil masyarakat Batak (Vergouwen, 1986). Huta dipimpin oleh seorang Raja Huta. Biasanya yang dipilih oleh penduduk huta untuk menjadi Raja Huta adalah pendiri huta yang bersangkutan.
Makin lama huta makin dipenuhi oleh penduduk dari berbagai suku di Batak Toba. Akhirnya beberapa penduduk pindah dan membentuk huta  baru. Hasilnya, banyak terbentuk huta di daerah kebudayaan Batak Toba. Beberapa diantara huta tersebut kemudian membentuk federasi atau persekutuan guna mewujudkan tujuan bersama diantara mereka. Persekutuan tersebut dinamakanHorja. Horja dipimpin oleh seorang Raja Horja yang dipilih dari para raja huta yang bergabung dalam federasi horja. Namun pemilihan Raja Horja ini tidaklah melalui voting, melainkan musyawarah secara terbuka.
Musyawarah untuk mufakat pun menjadi bagian dari perencanaan pendirian huta baru. Di tingkat huta, ada mekanisme musyawarah yang  membahas niat beberapa suku untuk mendirikan satu perkampungan atau huta baru. Mekanisme tersebut tonggo raja atau marria raja. Dalam tonggo raja, setiap raja suku ataupun penduduk berhak menyampaikan aspirasinya masing-masing. Musyawarah tersebut membahas persetujuan suku-suku lain terhadap pembangunan huta baru. Apabila hasil dari musyawarah itu tidak memberikan peluang bagi terbentuknya huta baru, maka pendirian huta harus dibatalkan atau ditunda. Pihak yang merasa keberatan dengan hasil musyawarah dapat menyampaikan aspirasinya ke tingkat horja untuk dibahas kembali. Tampak adanya mekanisme banding seperti yang terdapat pada pranata hukum modern.
Dalam huta maupun horja tidak ada pranata yang mengatur aspek religiusitas masyarakat Batak Toba. Aspek religiusitas baru dikelola dalam suatu lembaga yang secara struktural lebih tinggi dari horja. Lembaga itu adalah Bius. Bius merupakan perserikatan yang terdiri dari kelompok-kelompok marga yang ada di beberapa  horja.  Perserikatan bius ini dipimpin oleh  raja bius yang terdiri dari terdapat empat orang (raja na opat), yaitu Raja Parmalim (religi), Raja Adat (hukum adat), Raja Parbaringin (sosial, politik dan keamanan), Raja Bondar (ekonomi). Raja Parmalim merupakan bagian dari Raja Bius yang memiliki otoritas dibidang agama, dalam hal ini agama Parmalim (agama asli Batak).  Masing-masing dari Raja bius itu dipilih oleh wakil-wakil dari kelompok marga. Raja Parbaringin, misalnya,  dipilih oleh penduduk dari tiap-tiap  marga dalam bius melalui suatu musyawarah.
Terdapat hal menarik dari bius. Dalam lembaga tersebut ada pemimpin perempuan yang disebutPaniaran. Panjaran berfungsi sebagai “penyambung lidah” kaum perempuan dalam bius. Paniarandapat diistilahkan pula sebagai cerminan keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat luas (khususnya kaum perempuan) di tingkat bius.
 Orang Batak menganut prinsip keturunan patrilineal (garis keturunan laki-laki). Kelompok kekerabatan yang terkecil ialah keluarga batih atau rips(Toba), jabu (Karo). Suatu kelompok kekerabatan yang besar pada orang Toba disebut marga, orang Karo menyebutnya merga.
 Di dalam masyarakat Batak, ada suatu hubungan antara kelompok-kelompok kekerabatan yang mantap. Kelompok kerabat tempat istrinya berasal disebut hula-hula pada Batak Toba atau kalimbubu pada Batak Karo. Keluarga penyunting gadis disebut beru atau boru. Keluarga pihak laki-laki atau perempuan yang sedarah disebut senina atau sabutuha. Suat upacara adat, misalnya pesta perkawinan dan kematian, tidaklah sempurna kalau ketiga kelompok tersebut tidak hadir.
 Perkawinan pada masyarakat Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat laki-laki dan perempuan. Perkawinan mengakibatkan terbentuknya hubungan antara keluarga laki-laki ( peranak = Toba, sinereh = Karo) dan kaum si kerabat wanita (parbobu = Toba, sinereh = Karo). Itulah sebabnya, menurut adat lama, seorang laki-laki tidak bebas tidak bebas memilih jodohnya. Perkawinan yang dianggap ideal bila seorang laki-laki mengambil salah seorang putri saudara laki-laki ibunya sebagai istri. Seorang pria atau wanita tidak boleh kawin dengan orang semarga, karena orang semarga dianggap bersaudara. Sistem perkawinan semacam itu disebut asimetrikkonobium.
SISTEM KEKERABATAN  JAWA
Sistem kekerabatan suku bangsa Jawa adalah bilateral (garis keturunan ayah dan ibu). Dalam sistem kekerabatan masyarakat Jawa, digunakan istilah-istilah sebagai berikut.

1) Ego menyebut orang tua laki-laki adalah bapak/rama.
2) Ego menyebut orang tua perempuan adalah simbok/ biyung.
3) Ego menyebut kakak laki-laki adalah kang mas, kakang mas.
4) Ego menyebut kakak perempuan adalah mbakyu.
5) Ego menyebut adik laki-laki adalah adhi, dhimas, dik, atau le.
6) Ego menyebut adik perempuan adalah ndhuk, denok, atau di.

Dalam masyarakat Jawa, istilah-istilah di atas merupakan tata cara sopan santun pergaulan yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila melanggar nasihat orang tua akan sengsara atau disebut kuwalat.

SISTEM EKONOMI SUKU BATAK
Sistem ekonomi atau sistem mata pencaharian yang dilakukan masyarakat Batak adalah bercocok tanam di sawah, ada juga yang di ladang seperti suku bangsa Karo, Simalungun, dan Pakpak.

Masyarakat Batak mengenal sistem gotong-royong dalam bertani, dalam bahasa Karo disebut raren, sedangkan dalam bahasa Toba disebut marsiurupan. Gotong royong dilakukan dengan mengerjakan tanah secara bersama-sama oleh tetangga atau kerabat dekat. Alat yang digunakan untuk bercocok tanam, antara lain cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo, luku dalam bahasa Toba), dan tongkat tugal (engkol dalam bahasa Karo). 

Bajak biasanya ditarik dengan sapi/kerbau, sabit (sabi-sabi dalam bahasa Toba) dipakai untuk memotong padi, ada juga yang memakai ani-ani. Peternakan yang diusahakan oleh masyarakat Batak, seperti kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Babi biasanya untuk dimakan dan juga digunakan dalam upacara adat. Di Pulau Samosir tepi Danau Toba, menangkap ikan dilakukan intensif dengan perahu lesung (Solu) dan hasilnya dijual ke kota.

SISTEM EKONOMI SUKU JAWA
Bertani merupakan mata pencaharian utama. Bertani dilakukan di ladang dan sawah. Selain dari pertanian, masyarakat Jawa juga menjalankan usaha sambilan, seperti mencetak batu bata, membatik, tukang kayu, dan menganyam tikar. 

 IV.            DAFTAR PUSTAKA
a.       Adisumarto, Mukidi. 1991. Unggah -ungguh Bahasa Jawa Modern. Balai Sejarah Tradisional dan Javanologi Yayasan Panunggalan: Yogyakarta
b.      Simatupang, Maurits.1989. The life of the Batak. Makalah. Ganesha Tuesday Evening Lecture Series. Erasmus Huis. Jakarta.
c.       Sudaryanto.1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press
d.      Farr M. dan A.F.Ball. 1999. Standard English. Dalam Spolsky .B 205 – 208
 e. Sinaga, Drs.Richard. 1997. Leluhur Marga-marga Batak dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda. Dian Utama: Jakarta.
 
 



Share:

Flag Couter

Flag Counter

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

NOAH

My Facebook

https://www.facebook.com/rico.adam

Translate

Jam Digital

My Calender

Trafic Feed