I. PENDAHULUAN
Salah
satu fungsi utama komunikasi adalah untuk menjaga keberlangsungan hubungan
antara komunikannya. Oleh karena itu, bahasa yang merupakan alat komunikasinya
berisi kaidah-kaidah yang mengatur bagaimana cara seseorang bertutur agar
hubungan interpersonal para pemakai bahasa tersebut dapat terpelihara dengan
baik.Dalam kaitan ini, masyarakat pengguna bahasa, dalam situasi tertentu dan
untuk mencapai tujuan tertentu, situasi pertuturan agar peserta tutur dapat
saling berinteraksi, dan bentuk tuturnya menjadi saling terpahami. Pemahaman
terhadap tutur tersebut, menurut teori etnometodologi (Richards dkk. 1985: 97)
dimungkinkan karena adanya pengetahuan bersama (shared knowledge) diantara penutur dan petutur.
Kaidah-kaidah
dalam tata cara berkomunikasi, berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dalam
studi sosio-pragmatik, dapat dilihat bahwa strategi bertutur yang disebut dengan
retorika dalam prinsip sopan santun, pada kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat
bahasa yang berbeda misalnya, akan beroperasi secara berbeda (Leech, 1993: 15
). Sebagai contoh, dalam masyarakat Jawa yang memiliki tingkat tutur ‘unggah-ungguh’ (ngoko, madya atau krama inggil), penggunaannya dipilih
penutur ketika berbicara dengan petutur sesuai dengan situasi interaksi tertentu (Adisumarto,
1991 : 26). Demikian pula pada masyarakat Batak, pemilihan tingkat tutur yang
terjadi pada masyarakat Batak Toba ini juga disesuaikan dengan situasi
interkasi tertentu, namun situasi interkasi dalam masyarakat budaya Jawa
berbeda dengan masysrakat budaya Batak. Perbedaan ini dipengaruhi oleh latar
sosial budaya kedua masyarakat tersebut.
II.
TEORI
Pengertian Budaya menurut Farr dan Ball
(1999: 206) adalah pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat, yang
berkaitan dengan perilaku mereka. Selanjutnya menurut kamus besar bahasa
Indonesia, budaya adalah hasil kegiatan dan penciptaan akal budi manusia,
misalnya kesenian, kepercayaan dan adat istiadat. Dari pemaparan tersebut,
dapat dikatakan bahwa budaya akan selalu berkaitan dengan cara hidup sekelompok
masyarakat, termasuk cara anggota masyarakat budaya itu berkomunikasi atau
bertutur. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Goodenough (dalam Geertz, 1973:
11) bahwa budaya adalah hal-hal yang perlu diketahui dan dipercayai oleh
seseorang agar ia dapat bertingkah laku dengan cara yang berterima dalam
kelompok masyarakatnya.
III.
ANALISIS
Penggunaan Bahasa (tindak tutur) pada
kalangan suku Jawa berbeda dengan tindak tutur pada kalangan suku Batak.
Pandangan Hidup yang merupakan bagian dari kebudayaan kedua suku tersebut
berbeda. Suku Batak lebih sering menggunakan strategi bertutur dengan cara
terus terang, sedangkan suku jawa lebih sering menggunakan strategi bertutur
dalam hati. Menurut hasil penelitian Gunarwan (Gunarwan, 2004: 13), strategi pengungkapan tindak tutur melarang
yang paling sering digunakan oleh suku Batak adalah bentuk ‘terus terang tanpa
basa-basi’, dan tindak tutur melarang yang paling sering digunakan suku Jawa
adalah ‘di dalam hati’. Temuan ini menunjukkan bahwa budaya Batak
‘menggalakkan’ suku batak untuk lebih berani melarang dengan secara terus terang. Sebaliknya budaya Jawa
‘menggalakkan’ suku Jawa lebih memilih diam.
BUDAYA
BATAK
Bagi masyarakat Batak, menurut Sihombing
(1986: 71-72), keseimbangan untuk kelangsungan hidup berasal dari falsafah-falsafah
Batak berikut ini.
- Banua na tolu ( tiga bagian dunia)
Menurut falsafah masyarakat
Batak, alam semesta ini terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) banua ginjang ( dunia bagian atas), (2) banua tonga (dunia bagian tangah), dan
(3) banua toru (dunia bagian bawah).
Walaupun demikian, ketiga bagian dunia tersebut tidak menunjukkan perbedaan
derajat, yang berbeda adalah jenis penghuninya.
- Bonang na tolu ( benang yang terdiri atas tiga jenis pilinan)
Dalam masyarakat Batak
kesatuan sosial dilambangkan dengan tiga pilin benang yang masing-masing
warnanya adalah putih, merah dan hitam. Warna-warna yang terdapat pada bonang na tolu ini melambangkan tiga
unsur utama di dalam masyarakat Batak.
- Dalihan na tolu ( tungku yang memiliki penyanggah tiga buah)
Dalihan na tolu ini merupakan falsafah yang paling penting bagi
masyarakat Batak. Falsafah ini sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Penerapan mekanisme ‘dalihan na tolu’ ‘Tiga’
yang dimaksud disini adalah tiga buah batu yang digunakan sebagai tungku untuk
menyanggah belanga penanak nasi. Belanga tempat menanak nasi ini harus selalu
dalam keadaan seimbang, dan untuk itu batu penyangganya harus tiga (batu).
Letak ketiga penyangga tersebut harus disusun dengan baik, dengan jarak yang
sama antara penyangga yang satu dengan penyangga lainnya agar kekuatan untuk
menahan berat belanga dapat terjaga dengan baik. Disamping itu, ketiga
penyangga juga harus berukuran sama, untuk menjaga keseimbangan letak belanga.
Hal inilah yang menunjukkan asal mula persamaan derajat yang dianut oleh
masyarakat Batak. Bagi masyarakat Batak derajat semua warga adalah sama, yang
berbeda adalah tugas dan fungsi masing-masing warga dalam suatu keperluan. Seperti
yang dikatakan oleh Simatupang (1989: 5-6) bahwa falsafah dalihan na tolu has lent the Batak society a flavor of democracy. It is
an egalitarian society which has never produced a highly hierarchically
organized from government…… (it) counteracts any attempt or tendency to
accumulate power in the hands of only certain groups of Batak society. masyarakat Batak hanya memiliki satu
bahasa, tingkat tutur masyarakat Batak tidak hierarkis dan masyarakat Batak
adalah masyarakar yang egaliter.
BUDAYA
JAWA
masyarakat Jawa hal yang perlu
dipertimbangkan oleh peserta petuturan bila hendak berbicara sopan dengan orang
lain, untuk memelihara kerukunan sosial,
dijabarkan dalam maksim-maksim sebagai berikut (Gunarwan, 2004: 7).
a.Kurmat (menghormati orang lain)
Masyarakat Jawa, dalam kehidupan
sosialnya, menggunakan maksim kurmat
(menghormati orang lain). Maksim ini menggambarkan
bahwa untuk menjaga kerukunan dalam bermasyarakat, seseorang diharapkan dapat
menghormati dan tidak memandang rendah orang lain. Berikut contoh-contoh dari
tuturan yang diujarkan oleh seorang direktur kepada karyawannya, yang
menggunakan maksim kurmat.
b.Andhap asor ( rendah hati)
Maksim
andhap asor (rendah hati) ini
menggambarkan bahwa masyarakat jawa akan selalu menghindari untuk memuji diri
sendiri, (bandingkan dengan teori maksim kerendahan hati oleh Leech). Tuturan-tuturan
berikut adalah contoh prinsip sopan santun dari maksim ini.
- Tiang menika sae sanget, kersa ambiantu dateng kula.
(Orang itu baik sekali, mau
membantu saya)
- Mugi panjenengan kersa nampi cecaosan dalem egkang boten sepinten punika.
( Terimalah pemberian saya
yang tidak berharga ini)
- Kula rumaos cubluk, kirang pangertosan
(Saya merasa bodoh, kurang
mengerti)
Tuturan
(15) di atas termasuk dalam ragam formal yang menunjukkan sopan santun, karena
tuturan tersebut bertujuan untuk memuji orang lain. Demikian pula tuturan (16)
dan (17) sopan karena menunjukkan kerendahan hati.
c.Empan papan (bisa menempatkan
diri)
Maksim
ini tampak pada salah satu tindak tutur yang
dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang berusia lebih tua
darinya, seperti pada contoh- contoh berikut ini.
- Nyuwunsewu, bapak dipunaturi lenggah wonten lajengan
(Maaf, bapak dimohon untuk
duduk di depan)
- Kula lenggah wonten wingkingipun bapak mawon
(Saya duduk di (kursi)
belakang bapak saja)
Selain contoh tuturan (18) dan
(19) di atas, maksim ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Jawa dapat
menempatkan dirinya sesuai dengan stratanya, seperti yang telah dijelaskan pada
uraian sebelumnya.
d.Tepa selira (tenggang rasa)
Keempat
maksim ini (kurmat, andhap asor, empan
papan dan tepa selira) saling
berkaitan satu sama lainnya. Ketika seseorang menggunakan maksim kurmat, maka orang itu juga telah
menggunakan empan papan, seperti yang
terdapat pada tuturan (18) : ‘Kula
lenggah wonten wingkingipun bapak mawon’. Maksim kurmat pada tuturan ini tampak pada bentuk sapaan ‘bapak’ dan maksim empan papan tampak pada ‘lenggah
wonten wingkingipun‘. Demikian pula ketika seseorang menggunakan maksim empan papan, ia juga menggunakan maksim tepa selira. Hal tersebut dapat dilihat
pada tuturan (21): ‘Mangga embah,
lenggahipun’. Maksim empan papan dan maksim tepa selira tampak pada tuturan tersebut
secara keseluruhan.
Dari uraian dan contoh-contoh
tuturan di atas, dapat dikatakan bahwa perbedaan struktur sosial tercermin pada
kedua budaya tersebut (budaya Batak dan budaya Jawa). Berbagai bentuk tuturan,
yang merupakan strategi bertutur yang digunakan oleh penutur pada saat
berinteraksi dengan lawan tuturnya, akan mencerminkan bentuk hubungan sosial
dan budaya antara penutur dan lawan tuturnya. Dengan kata lain, budaya akan
mempengaruhi penggunaan bahasa oleh sekelompok masyarakat, seperti yang
diuraikan di atas, yaitu contoh-contoh tuturan oleh masyarakat Jawa, didasarkan
pada tiga parameter pragmatik, yaitu jauh dekatnya hubungan penutur dan lawan
tutur, status sosial penutur dan tingkat tindak tutur yang dipilih, dan penggunaan
tingkat tindak tutur masyarakat Batak tidak membedakan derajat antara warga
masyarakatnya.
Perbedaan tindak tutur antara masyarakat Jawa
dan masayarakat Batak tersebut akan berpengaruh terhadap kedua masayarakat
pengguna bahasa, jika mereka saling berhubungan baik dalam berkomunikasi maupun
dalam pergaulan sehari-hari, dan hal ini akan sangat terasa bagi masayarakat
Jawa yang priyayi, karena masayarakat
priyayi terbiasa dengan
tuturan-tuturan kromo alus, jika bersentuhan dengan masyarakat
Batak yang tidak memiliki tindak tutur yang hierarkis, dapat menimbulkan rasa
tidak nyaman
SISTEM
KEKERABATAN BATAK
a. Sistem Harajoan
Harajoan dapat didefiniskan pola
kepemimpinan dan sistem kemasyarakatan dalam kebudayaan masyarakat Batak
Toba. Sistem Harajoan berlaku pada dua level organisasi sosial masyarakat Batak
Toba, yaitu suku dan kampung atau Huta. Harajoan tidak hanya
berkaitan dengan pengorganisiran para anggota suku maupun huta, tetapi juga
mengatur mengenai luas teritori dan pola serta otorisasi
kepemimpinan dalam suatu suku dan huta.
Dalam sistem Harajoan, kepemimpinan dalam satu suku dinamakan Raja Maropat.
Posisi Raja Maropat ini erat kaitannya dengan kelompok kekerabatan yang disebut
marga. Hal ini terkait juga dengan mitologi suku Batak yang meyakini bahwa
seluruh orang Batak dari berbagai sub suku adalah keturunan Si Raja Batak yang
kemudian melahirkan banyak keturunan. Keturunan Si Raja Batak inilah yang
mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok tertentu guna memperjelas identitas
genealogis mereka. Kelompok-kelompok itulah yang disebut marga. Penentuan
pemimpin dalam kelompok suku itu berdasarkan pada silsilah marga atau tarombo dari
masing-masing anggota suku. Bila berdasarkan tarombo tersebut ada seseorang
yang silsilahnya mendekati garis keturunan terdekat dari Si Raja Batak, maka
orang itu dapat diangkat sebagai pemimpin.
Ketika beberapa suku telah sepakat untuk tinggal bersama dalam suatu
daerah, maka di daerah tersebut akan didirikan suatu kampung atau huta. Huta
dapat didefinisikan sebagai persekutuan terkecil masyarakat Batak (Vergouwen,
1986). Huta dipimpin oleh seorang Raja Huta. Biasanya yang dipilih oleh penduduk
huta untuk menjadi Raja Huta adalah pendiri huta yang bersangkutan.
Makin lama huta makin dipenuhi oleh penduduk dari berbagai suku di Batak
Toba. Akhirnya beberapa penduduk pindah dan membentuk huta baru.
Hasilnya, banyak terbentuk huta di daerah kebudayaan Batak Toba. Beberapa
diantara huta tersebut kemudian membentuk federasi atau persekutuan guna
mewujudkan tujuan bersama diantara mereka. Persekutuan tersebut dinamakanHorja.
Horja dipimpin oleh seorang Raja Horja yang dipilih dari para raja huta yang
bergabung dalam federasi horja. Namun pemilihan Raja Horja ini tidaklah melalui
voting, melainkan musyawarah secara terbuka.
Musyawarah untuk mufakat pun menjadi bagian dari perencanaan pendirian huta
baru. Di tingkat huta, ada mekanisme musyawarah yang membahas niat
beberapa suku untuk mendirikan satu perkampungan atau huta baru. Mekanisme
tersebut tonggo raja atau marria raja. Dalam tonggo raja, setiap
raja suku ataupun penduduk berhak menyampaikan aspirasinya masing-masing.
Musyawarah tersebut membahas persetujuan suku-suku lain terhadap pembangunan
huta baru. Apabila hasil dari musyawarah itu tidak memberikan peluang bagi
terbentuknya huta baru, maka pendirian huta harus dibatalkan atau ditunda.
Pihak yang merasa keberatan dengan hasil musyawarah dapat menyampaikan
aspirasinya ke tingkat horja untuk dibahas kembali. Tampak adanya mekanisme
banding seperti yang terdapat pada pranata hukum modern.
Dalam huta maupun horja tidak ada pranata yang mengatur aspek religiusitas
masyarakat Batak Toba. Aspek religiusitas baru dikelola dalam suatu lembaga
yang secara struktural lebih tinggi dari horja. Lembaga itu adalah Bius. Bius
merupakan perserikatan yang terdiri dari kelompok-kelompok marga yang ada di
beberapa horja. Perserikatan bius ini dipimpin oleh
raja bius yang terdiri dari terdapat empat orang (raja na
opat), yaitu Raja Parmalim (religi), Raja Adat (hukum adat), Raja
Parbaringin (sosial, politik dan keamanan), Raja Bondar (ekonomi). Raja
Parmalim merupakan bagian dari Raja Bius yang memiliki otoritas dibidang agama,
dalam hal ini agama Parmalim (agama asli Batak). Masing-masing dari Raja
bius itu dipilih oleh wakil-wakil dari kelompok marga. Raja Parbaringin,
misalnya, dipilih oleh penduduk dari tiap-tiap marga dalam bius
melalui suatu musyawarah.
Terdapat hal menarik dari bius. Dalam lembaga tersebut ada pemimpin
perempuan yang disebutPaniaran. Panjaran berfungsi sebagai “penyambung
lidah” kaum perempuan dalam bius. Paniarandapat diistilahkan pula
sebagai cerminan keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut kehidupan masyarakat luas (khususnya kaum perempuan) di tingkat
bius.
Orang
Batak menganut prinsip keturunan patrilineal (garis keturunan laki-laki).
Kelompok kekerabatan yang terkecil ialah keluarga batih atau rips(Toba), jabu (Karo).
Suatu kelompok kekerabatan yang besar pada orang Toba disebut marga,
orang Karo menyebutnya merga.
Di dalam
masyarakat Batak, ada suatu hubungan antara kelompok-kelompok kekerabatan yang
mantap. Kelompok kerabat tempat istrinya berasal disebut hula-hula pada
Batak Toba atau kalimbubu pada Batak Karo. Keluarga penyunting
gadis disebut beru atau boru. Keluarga pihak
laki-laki atau perempuan yang sedarah disebut senina atau sabutuha.
Suat upacara adat, misalnya pesta perkawinan dan kematian, tidaklah sempurna
kalau ketiga kelompok tersebut tidak hadir.
Perkawinan
pada masyarakat Batak merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat
laki-laki dan perempuan. Perkawinan mengakibatkan terbentuknya hubungan antara
keluarga laki-laki ( peranak = Toba, sinereh =
Karo) dan kaum si kerabat wanita (parbobu = Toba, sinereh =
Karo). Itulah sebabnya, menurut adat lama, seorang laki-laki tidak bebas tidak
bebas memilih jodohnya. Perkawinan yang dianggap ideal bila seorang laki-laki
mengambil salah seorang putri saudara laki-laki ibunya sebagai istri. Seorang
pria atau wanita tidak boleh kawin dengan orang semarga, karena orang semarga
dianggap bersaudara. Sistem perkawinan semacam itu disebut asimetrikkonobium.
SISTEM
KEKERABATAN JAWA
Sistem
kekerabatan suku bangsa Jawa adalah bilateral (garis keturunan ayah dan ibu).
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Jawa, digunakan istilah-istilah sebagai
berikut.
1)
Ego menyebut orang tua laki-laki adalah bapak/rama.
2)
Ego menyebut orang tua perempuan adalah simbok/ biyung.
3)
Ego menyebut kakak laki-laki adalah kang mas, kakang mas.
4)
Ego menyebut kakak perempuan adalah mbakyu.
5)
Ego menyebut adik laki-laki adalah adhi, dhimas, dik, atau le.
6)
Ego menyebut adik perempuan adalah ndhuk, denok, atau di.
Dalam
masyarakat Jawa, istilah-istilah di atas merupakan tata cara sopan santun
pergaulan yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila melanggar
nasihat orang tua akan sengsara atau disebut kuwalat.
SISTEM
EKONOMI SUKU BATAK
Sistem
ekonomi atau sistem mata pencaharian yang dilakukan masyarakat Batak adalah
bercocok tanam di sawah, ada juga yang di ladang seperti suku bangsa Karo, Simalungun,
dan Pakpak.
Masyarakat
Batak mengenal sistem gotong-royong dalam bertani, dalam bahasa Karo disebut
raren, sedangkan dalam bahasa Toba disebut marsiurupan. Gotong royong dilakukan
dengan mengerjakan tanah secara bersama-sama oleh tetangga atau kerabat dekat.
Alat yang digunakan untuk bercocok tanam, antara lain cangkul, bajak (tenggala
dalam bahasa Karo, luku dalam bahasa Toba), dan tongkat tugal (engkol dalam
bahasa Karo).
Bajak
biasanya ditarik dengan sapi/kerbau, sabit (sabi-sabi dalam bahasa Toba)
dipakai untuk memotong padi, ada juga yang memakai ani-ani. Peternakan yang
diusahakan oleh masyarakat Batak, seperti kerbau, sapi, babi, kambing, ayam,
dan bebek. Babi biasanya untuk dimakan dan juga digunakan dalam upacara adat.
Di Pulau Samosir tepi Danau Toba, menangkap ikan dilakukan intensif dengan
perahu lesung (Solu) dan hasilnya dijual ke kota.
SISTEM
EKONOMI SUKU JAWA
Bertani
merupakan mata pencaharian utama. Bertani dilakukan di ladang dan sawah. Selain
dari pertanian, masyarakat Jawa juga menjalankan usaha sambilan, seperti
mencetak batu bata, membatik, tukang kayu, dan menganyam tikar.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
a.
Adisumarto,
Mukidi. 1991. Unggah -ungguh Bahasa Jawa
Modern. Balai Sejarah Tradisional dan Javanologi Yayasan Panunggalan:
Yogyakarta
b.
Simatupang,
Maurits.1989. The life of the
Batak. Makalah. Ganesha Tuesday Evening Lecture Series. Erasmus Huis. Jakarta.
c.
Sudaryanto.1991.
Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa.
Yogyakarta : Duta Wacana University Press
d.
Farr
M. dan A.F.Ball. 1999. Standard English.
Dalam Spolsky .B 205 – 208
e. Sinaga, Drs.Richard. 1997. Leluhur Marga-marga Batak dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda.
Dian Utama: Jakarta.