Bank Indonesia menyebutkan penyaluran kredit usaha mikro
kecil dan menengah kepada sektor industri kreatif berkisar 17,4% atau relatif
kecil dibandingkan dengan non industri kreatif.
Data BI mencatat penyaluran kredit untuk industri kreatif
per Agustus 2014 senilai Rp115,4 triliun (17,4%), sedangkan kredit non-industri
kreatif Rp535,8 triliun (82,6%). Sementara kredit untuk sektor kerajinan Rp52,7
triliun (46,8%), fesyen Rp26,3 triliun (23,3%) dan desain senilai Rp14,8
triliun (13,1%).
Berdasarkan komposisi usaha di Indonesia untuk industri
kreatif hanya 9,67%. Oleh karena itu, perbankan perlu mendorong penyaluran
kredit supaya industri ini berkembang pesat.
Program BI tahun depan yakni memberikan pelatihan pencatatan
keuangan. Dalam hal ini, para pelaku UMKM diajari untuk menggunakan metode
keuangan secara baik.
Pencatatan keuangan bagi industri kecil, sangat penting
mengingat perbankan akan menyalurkan kredit dengan mengecek terlebih dulu
sejauh mana perusahaan itu dapat membuat neraca keuangan, rugi-laba, cash flow,
cash in, dan cash out flow.
Perbankan tidak semudah memberikan kredit kepada perusahaan
besar dengan manajemen keuangan yang sudah tertata rapi.
Jika pencatatan keuangan sudah rapi, diyakini bank akan
segera menyalurkan kredit. Karena bank sudah tahu siapa saja yang layak
diberikan kredit.
Program BI dalam pencatatan keuangan bagi industri kecil
atau industri kreatif akan direalisasikan dengan menggandeng dengan beberapa
universitas.
Rencananya, program tersebut akan dibuat silabus khusus
untuk mempermudah pelaku UMKM memahaminya.
Selanjutnya diharapkan porsi penyaluran kredit bagi industri
kreatif semakin besar.
Step by step akan didorong pelaku industri kecil untuk
memperbaiki manajemen keuangan.
Kontribusi industri kreatif terhadap produk domestik bruto
Indonesia meningkat setiap tahun.
Pada 2010-2013 industri ini merupakan penyumbang PDB ketujuh
dari 10 sektor ekonomi atau 7,05% setara dengan Rp641,8 miliar.
Adapun dari 15 subsektor industri kreatif yang memiliki
nilai tambah bruto terbesar yakni kuliner senilai Rp208,6 miliar (32,51%) dan
terendah pasar seni dan barang antik dengan kontribusi NTB senilai Rp2,01
miliar.
Ekonomi kreatif sudah ada sejak lama. Namun perhatian
pemerintah baru digarap serius pada 2004 atau era mantan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Jika berbicara ekonomi kreatif itu intinya mempunyai nilai
tambah. Dengan kreatifitas itu bisa menjual produk tersebut.
Akan didorong pelaku industri kreatif menggandeng desainer
sebagai upaya pengembangan produk selalu berinovasi.
Satu produk bisa menjadi produk bernilai jual tinggi dengan
sentuhan dan pengembangan merek serta terdaftar Hak Kekayaan Intelektual.
Untuk bisa masuk pasar ekspor harus memahami selera
konsumen. Dengan memfasilitasi antara buyer dengan pelaku industri kreatif
dengan mengadakan pameran berkelas internasional.
Ekonomi kreatif merupakan pendapatan yang bisa membantu
sektor perpajakan.
Upaya pemerintah mengembangkan ekonomi kreatif sesuai dengan
Instruksi Presiden No 6/2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif Tahun
2009-2015.
Pada pemerintahan baru, akan dibentuk suatu badan atau wadah
yang menangani dan mengelola ekonomi kreatif se-Indonesia.Di mana badan itu
bertanggungjawab langsung kepada Presiden Joko Widodo.
Semoga dengan pemerintahan baru ini, ekonomi kreatif
mendapatkan perhatian penuh.
UMKM Hadapi Beban Berat
LONJAKAN RASIO KREDIT BERMASALAH CAPAI LEBIH 5%
Jakarta – Akibat menanggung beban bunga
kredit yang cukup tinggi di tengah kondisi perekonomian dalam negeri
yang melemah belakangan, tingkat kredit bermasalah (non performing
loan-NPL) sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) kini mencapai
5,27% pada akhir 2014, melewati batas yang ditetapkan Bank Indonesia
yaitu maksimum 5%.
NERACA
Menurut data Bank Indonesia per akhir 2014, tingkat kualitas kredit bermasalah usaha mikro kecil menengah (UMKM) mencapai 5,27%. Angka rasio non performing loan (NPL) sudah berada di atas 5%, yaitu batas atas yang ditetapkan oleh BI.
Secara sektoral, kredit UMKM mayoritas disalurkan kepada sektor perdagangan hingga 51,3%, diikuti dengan sektor pertanian sebesar 20,4%, industri pengolahan sebesar 6,6%. Sedangkan penyaluran kredit UMKM sepanjang 2014 mencapai Rp671,72 triliun, tumbuh 10,1% dari posisi 2013 sebesar Rp 610,02 triliun. Porsi penyaluran paling besar berada pada usaha menengah senilai Rp329,47 triliun, disusul usaha kecil Rp201,97 triliun dan mikro Rp140,27 triliun.
Menurut pengamat ekonomi Hendri Saparini, selama ini penyebab masih tingginya suku bunga kredit untuk sektor UMKM adalah asimetric information. Artinya, bank belum mengetahui rekam jejak UMKM sehingga memberlakukan premi risiko tinggi. Bunga kredit yang dibebankan kepada UMKM berkisar antara 17% hingga 24% per tahun.
"Bagi sebagian bank, UMKM dipandang tidak bankable sehingga mengandung default risk berupa kredit macet. Untuk menekan risiko kredit macet, bank mewajibkan jaminan tambahan untuk kredit yang diberikan maupun jaminan kredit yang dimiliki nasabah,"ujarnya kepada Neraca, Kamis (26/2).
Selain itu, Hendri menilai kini kencenderungan kredit dari perbankan umumnya masih bersifat konsumtif. Seharusnya, kredit yang disalurkan lebih diprioritaskan kepada sektor produktif, sehingga dampaknya bisa lebih efektif dalam mendukung pertumbuhan perekonomian.
"Dampaknya, pertumbuhan ekonomi melambat karena ekspansi pengusaha menjadi berkurang. Belum lagi jika permintaan produksi menurun tajam, bukan tidak mungkin bakal ada perampingan tenaga kerja," ujarnya.
Direktur UKM Center Universitas Indonesia Nining Indroyono menilai, salah satu penyebab kredit macet di UMKM adalah suku bunga yang terlalu tinggi. Dia mengatakan, bunga bank untuk UMKM tinggi lantaran nilai kredit yang disalurkan kecil-kecil jadi banyak cost yang dikeluarkan. “Semakin besar nilai kreditnya, maka semakin kecil suku bunganya. Karena kredit itu dipengaruhi oleh sustainability dari kreditor dan biaya kredit, misalnya materai, surat perjanjian, biaya staf, dan lain sebagainya. Jadi, kalau kreditnya kecil seperti pada UMKM, maka sudah pasti bunganya sangat tinggi,” ujarnya.
Menurut dia, salah satu cara efektif untuk menurunkan suku bunga kredit UMKM, yaitu melalui mekanisme subsidi. Tapi masalahnya, kata dia, pemanfaatan subsidi tersebut tidak semudah yang dibayangkan karena subsidi pada kredit bank juga punya dampak buruh. “Terlebih saat ini banyak yang bilang bahwa mekanisme subsidi dianggap sebagai bentuk kemubaziran,” jelasnya.
Di sisi lain, dampak negatif dari subsidi itu antara lain, sebuah produk menjadi tidak kompetitif di pasar. “Namun pada sisi lainnya sebenarnya juga ada dampak positifnya, kalau suku bunga tinggi, tentu orang juga akan agresif menabung. Sudah seharusnya, perbankan mengambil untung dari spread tersebut,” ujarnya.
Yang jelas, lanjut dia, Bank Indonesia sebagai regulator seharusnya memberikan batasan kredit agar tidak terjadi suatu persaingan yang tidak sehat. Seperti untuk BPR maksimal pemberian kredit sampai Rp 15 juta, kemudian bank-bank besar seperti bank asing memberikan kredit sampai di atas Rp 100 juta. “Sektor UMKM sebetulnya tak memperdulikan, apakah bank asing, BPR dan bank umum yang melakukan pembiayaan. Yang penting cepat dan syaratnya mudah,” ujarnya.
Dampak Suku Bunga Acuan
Pengamat ekonomi Indef Eko Lisyanto mengatakan pertumbuhan kredit UMKM sangat tergantung siklus ekonomi. Menurut dia, jika pertumbuhan ekonomi melambat, bank akan semakin hati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor UMKM lantaran khawatir kredit macet akan tinggi.
Menurut dia, masalah di sektor UMKM masih sangat klasik. UMKM terbebani dengan beban bunga yang tinggi. Di sisi lain, keadaan makro ekonomi Indonesia belum memungkinkan untuk diturunkannya suku bunga acuan. Otoritas perbankan perlu memberikan insentif bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor UMKM agar perlambatan ekonomi tidak berdampak pada pembiayaan di sektor UMKM. Sektor ini merupakan bantalan krisis sehingga perlu terus didorong untuk berkembang.
Pengamat perbankan UI Telisa Aulia Falianty mengatakan, tingginya kredit macet UMKM dikarenakan kondisi ekonomi yang sedang melambat, disamping juga suku bunga acuan yang tinggi menjadikan bunga kredit bank untuk UMKM ikut merangkak naik. "Secara profitabilitas UMKM sedang tertekan oleh kondisi ekonomi yang melambat, ditambah lagi beban bunga kredit tinggi mengingat suku bunga acuan (BI Rate) masih tinggi," katanya.
Dengan melambatnya UMKM ini, lanjut Telisa menggambarkan melambatnya ekonomi nasional. "Ini jelas perlambatan di sektor UMKM mulai kentara, padahal industri dalam negeri 80% masih di dominasi oleh UMKM," imbuhnya.
Oleh karenanya, jika memang pemerintah ingin membangkitkan sektor UMKM. Maka bunga kredit ke sektor ini seharusnya lebih rendah daripada kredit lain. “Harus ada skema dari pemerintah agar perbankan bisa memberikan bunga kredit rendah kepada UMKM, atau dengan memberikan subsidi bunga," jelasnya.
Ada pun pemberian subsidi bunga itu diberikan pada UMKM yang memang skala menengah dimana laporan keuangannya memang sudah rapi, mengingat selama ini keinginan dari bank juga yang terpenting adalah track record dari laporan keuangan rapi. "Harus ada subsidi bunga untuk UMKM, tapi memang juga harus ada skala perioritas. Karena ini bersinggungan dengan subsidi (uang negara) jadi pertanggungjawabannya jelas," ujarnya.
Pengamat ekonomi dari Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto mengatakan, UMKM dan industri rumah tangga justru seharusnya menjadi kekuatan ekonomi nasional. "Di berbagai daerah bahkan industri rakyat banyak yang sudah gulung tikar. Sebut misalnya industri ukiran di Jepara, industri kulit dan perak di Yogyakarta, industri logam di Tegal dan lain sebagainya," katanya.
Menurut dia, kebijakan pemerintah pada sektor perindustrian yang selalu mengandalkan investasi asing dan impor teknologi harus segera dirombak. Dia menyarankan agar adanya hubungan sub-kontrak dari industri besar dengan usaha industri skala rumah tangga. "Hubungan mutual dan saling ketergantungan antara industri skala besar dan kecil itu akan lebih menjamin industri kita secara berkelanjutan," katanya.
Karena itu, Suroto menegaskan industri skala rumah tangga harus mendapatkan prioritas kebijakan agar sektor industri di Tanah Air tidak terpuruk. Apalagi karena industri skala rumah tangga juga strategis untuk mengimbangi pertumbuhan minus di sektor utama pertanian. "Rakyat kita sebetulnya super kreatif. Asal diberikan lingkungan yang kondusif dari kebijakan perindustrian yang berpihak pada mereka maka kita akan dapat lakukan banyak lompatan," katanya. agus/iwan/bari/mohar
NERACA
Menurut data Bank Indonesia per akhir 2014, tingkat kualitas kredit bermasalah usaha mikro kecil menengah (UMKM) mencapai 5,27%. Angka rasio non performing loan (NPL) sudah berada di atas 5%, yaitu batas atas yang ditetapkan oleh BI.
Secara sektoral, kredit UMKM mayoritas disalurkan kepada sektor perdagangan hingga 51,3%, diikuti dengan sektor pertanian sebesar 20,4%, industri pengolahan sebesar 6,6%. Sedangkan penyaluran kredit UMKM sepanjang 2014 mencapai Rp671,72 triliun, tumbuh 10,1% dari posisi 2013 sebesar Rp 610,02 triliun. Porsi penyaluran paling besar berada pada usaha menengah senilai Rp329,47 triliun, disusul usaha kecil Rp201,97 triliun dan mikro Rp140,27 triliun.
Menurut pengamat ekonomi Hendri Saparini, selama ini penyebab masih tingginya suku bunga kredit untuk sektor UMKM adalah asimetric information. Artinya, bank belum mengetahui rekam jejak UMKM sehingga memberlakukan premi risiko tinggi. Bunga kredit yang dibebankan kepada UMKM berkisar antara 17% hingga 24% per tahun.
"Bagi sebagian bank, UMKM dipandang tidak bankable sehingga mengandung default risk berupa kredit macet. Untuk menekan risiko kredit macet, bank mewajibkan jaminan tambahan untuk kredit yang diberikan maupun jaminan kredit yang dimiliki nasabah,"ujarnya kepada Neraca, Kamis (26/2).
Selain itu, Hendri menilai kini kencenderungan kredit dari perbankan umumnya masih bersifat konsumtif. Seharusnya, kredit yang disalurkan lebih diprioritaskan kepada sektor produktif, sehingga dampaknya bisa lebih efektif dalam mendukung pertumbuhan perekonomian.
"Dampaknya, pertumbuhan ekonomi melambat karena ekspansi pengusaha menjadi berkurang. Belum lagi jika permintaan produksi menurun tajam, bukan tidak mungkin bakal ada perampingan tenaga kerja," ujarnya.
Direktur UKM Center Universitas Indonesia Nining Indroyono menilai, salah satu penyebab kredit macet di UMKM adalah suku bunga yang terlalu tinggi. Dia mengatakan, bunga bank untuk UMKM tinggi lantaran nilai kredit yang disalurkan kecil-kecil jadi banyak cost yang dikeluarkan. “Semakin besar nilai kreditnya, maka semakin kecil suku bunganya. Karena kredit itu dipengaruhi oleh sustainability dari kreditor dan biaya kredit, misalnya materai, surat perjanjian, biaya staf, dan lain sebagainya. Jadi, kalau kreditnya kecil seperti pada UMKM, maka sudah pasti bunganya sangat tinggi,” ujarnya.
Menurut dia, salah satu cara efektif untuk menurunkan suku bunga kredit UMKM, yaitu melalui mekanisme subsidi. Tapi masalahnya, kata dia, pemanfaatan subsidi tersebut tidak semudah yang dibayangkan karena subsidi pada kredit bank juga punya dampak buruh. “Terlebih saat ini banyak yang bilang bahwa mekanisme subsidi dianggap sebagai bentuk kemubaziran,” jelasnya.
Di sisi lain, dampak negatif dari subsidi itu antara lain, sebuah produk menjadi tidak kompetitif di pasar. “Namun pada sisi lainnya sebenarnya juga ada dampak positifnya, kalau suku bunga tinggi, tentu orang juga akan agresif menabung. Sudah seharusnya, perbankan mengambil untung dari spread tersebut,” ujarnya.
Yang jelas, lanjut dia, Bank Indonesia sebagai regulator seharusnya memberikan batasan kredit agar tidak terjadi suatu persaingan yang tidak sehat. Seperti untuk BPR maksimal pemberian kredit sampai Rp 15 juta, kemudian bank-bank besar seperti bank asing memberikan kredit sampai di atas Rp 100 juta. “Sektor UMKM sebetulnya tak memperdulikan, apakah bank asing, BPR dan bank umum yang melakukan pembiayaan. Yang penting cepat dan syaratnya mudah,” ujarnya.
Dampak Suku Bunga Acuan
Pengamat ekonomi Indef Eko Lisyanto mengatakan pertumbuhan kredit UMKM sangat tergantung siklus ekonomi. Menurut dia, jika pertumbuhan ekonomi melambat, bank akan semakin hati-hati dalam menyalurkan kredit ke sektor UMKM lantaran khawatir kredit macet akan tinggi.
Menurut dia, masalah di sektor UMKM masih sangat klasik. UMKM terbebani dengan beban bunga yang tinggi. Di sisi lain, keadaan makro ekonomi Indonesia belum memungkinkan untuk diturunkannya suku bunga acuan. Otoritas perbankan perlu memberikan insentif bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor UMKM agar perlambatan ekonomi tidak berdampak pada pembiayaan di sektor UMKM. Sektor ini merupakan bantalan krisis sehingga perlu terus didorong untuk berkembang.
Pengamat perbankan UI Telisa Aulia Falianty mengatakan, tingginya kredit macet UMKM dikarenakan kondisi ekonomi yang sedang melambat, disamping juga suku bunga acuan yang tinggi menjadikan bunga kredit bank untuk UMKM ikut merangkak naik. "Secara profitabilitas UMKM sedang tertekan oleh kondisi ekonomi yang melambat, ditambah lagi beban bunga kredit tinggi mengingat suku bunga acuan (BI Rate) masih tinggi," katanya.
Dengan melambatnya UMKM ini, lanjut Telisa menggambarkan melambatnya ekonomi nasional. "Ini jelas perlambatan di sektor UMKM mulai kentara, padahal industri dalam negeri 80% masih di dominasi oleh UMKM," imbuhnya.
Oleh karenanya, jika memang pemerintah ingin membangkitkan sektor UMKM. Maka bunga kredit ke sektor ini seharusnya lebih rendah daripada kredit lain. “Harus ada skema dari pemerintah agar perbankan bisa memberikan bunga kredit rendah kepada UMKM, atau dengan memberikan subsidi bunga," jelasnya.
Ada pun pemberian subsidi bunga itu diberikan pada UMKM yang memang skala menengah dimana laporan keuangannya memang sudah rapi, mengingat selama ini keinginan dari bank juga yang terpenting adalah track record dari laporan keuangan rapi. "Harus ada subsidi bunga untuk UMKM, tapi memang juga harus ada skala perioritas. Karena ini bersinggungan dengan subsidi (uang negara) jadi pertanggungjawabannya jelas," ujarnya.
Pengamat ekonomi dari Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto mengatakan, UMKM dan industri rumah tangga justru seharusnya menjadi kekuatan ekonomi nasional. "Di berbagai daerah bahkan industri rakyat banyak yang sudah gulung tikar. Sebut misalnya industri ukiran di Jepara, industri kulit dan perak di Yogyakarta, industri logam di Tegal dan lain sebagainya," katanya.
Menurut dia, kebijakan pemerintah pada sektor perindustrian yang selalu mengandalkan investasi asing dan impor teknologi harus segera dirombak. Dia menyarankan agar adanya hubungan sub-kontrak dari industri besar dengan usaha industri skala rumah tangga. "Hubungan mutual dan saling ketergantungan antara industri skala besar dan kecil itu akan lebih menjamin industri kita secara berkelanjutan," katanya.
Karena itu, Suroto menegaskan industri skala rumah tangga harus mendapatkan prioritas kebijakan agar sektor industri di Tanah Air tidak terpuruk. Apalagi karena industri skala rumah tangga juga strategis untuk mengimbangi pertumbuhan minus di sektor utama pertanian. "Rakyat kita sebetulnya super kreatif. Asal diberikan lingkungan yang kondusif dari kebijakan perindustrian yang berpihak pada mereka maka kita akan dapat lakukan banyak lompatan," katanya. agus/iwan/bari/mohar
Sumber :
http://www.neraca.co.id/article/51101/UMKM-Hadapi-Beban-Berat
DEWAPK^^ agen judi terpercaya, ayo segera bergabungan dengan kami
BalasHapusdicoba keberuntungan kalian bersama kami dengan memenangkan uang jutaan rupiah
ditunggu apa lagi segera buka link kami ya :)
:)